Siapakah khadijah?
Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan,
cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa
Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan bantuan dan
modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili
urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas
kawin berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus
kerana tak ada yang berkenan di hatinya.
Bermimpi melihat matahari turun kerumahnya
Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun dari langit, masuk ke
dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya merata kesemua tempat sehingga tiada
sebuah rumah di kota Makkah yang luput dari sinarnya.
Mimpi itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal.
Dia seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli
tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas
dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Waraqah berkata: “Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah
kelak dengan seorang Nabi akhir zaman.” “Nabi itu berasal dari negeri mana?”
tanya Khadijah bersungguh-sungguh. “Dari kota Makkah ini!” ujar Waraqah singkat.
“Dari suku mana?” “Dari suku Quraisy juga.” Khadijah bertanya lebih jauh: “Dari
keluarga mana?” “Dari keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat,” kata Waraqah
dengan nada menghibur. Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar
meneruskan pertanyaan terakhir: “Siapakah nama bakal orang agung itu, hai
sepupuku?” Orang tua itu mempertegas: “Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal
suamimu!”
Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya.
Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah
Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya
sang pemimpin itu.
Lamaran dari
khadijah kepada Rasulullah s.a.w
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata
Khadijah: “Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!” (Suaranya ramah,
bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu harga dirinya)
Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu
tetapi pasti.
Muhammad SAW: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu”
Muhammad SAW: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu”
(Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh
ketakjuban)
Khadijah: “Oh, itukah….! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan,”. “Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu”.(Ia berhenti sejenak, meneliti).
Khadijah: “Oh, itukah….! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan,”. “Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu”.(Ia berhenti sejenak, meneliti).
Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat
Khadijah: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu”.
Khadijah: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu”.
khadijah (Khadijah tertunduk lalu melanjutkan): “Tetapi sayang, ada
aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan
menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama
terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan, yang
lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa
yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan
gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa
kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a.
Rasulullah SAW minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang
ditinggalkan. Ia menceritakan kepada Pamannya.
Rasulullah SAW: “Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata Khadijah r.a.
Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan itu “anu dan anu….”
Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya itu.
‘Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat
naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim.
Katanya: “Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya”.
‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: “Khadijah, kalau
kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan
dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?”
Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya
itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati
‘Atiqah:
Khadijah : “Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus
terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad
SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya; kalau tidak,aku pun berjanji
tak akan bersuami hingga mati”.
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua
wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius. “Tapi
Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin
Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan: “Kalau belum cobalah meminta
persetujuannya.” “Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib,
supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang,
dan disitulah diadakan majlis lamaran”, Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak
mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan karena dialah yang
menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman.
‘Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia
segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib,
Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah
dengan Khadijah “Itu bagus sekali”, kata Abu Thalib, “tapi kita harus
bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih dulu.”
Khadijah yang cantik
Sebelum diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu ia pun telah menerima
seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang datang untuk
menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan peribadi Khadijah itu bertanya:
Nafisah : “Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?”
Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”
Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”
Nafisah “Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah?
Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan
sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?”
Rasulullah SAW: “Siapakah dia?” tanya Muhammad SAW.
Nafisah : “Khadijah!” Nafisah berterus terang. “Asalkan engkau bersedia,
sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!”
Usaha Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan
langsung menemui Khadijah r.a, menceritakan kesediaan Muhammad SAW. Setelah
Muhammad SAW menerimapemberitahuan dari saudara-saudaranya tentang hasil
pertemuan dengan Khadijah r.a, maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang
janda yang usianya lima belas tahun lebih tua daripadanya.
Betapa tidak setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia wanita
bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan yang utama karena hatinya telah dibukakan
Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan dijodohkan dengannya. Kalau
dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur empat puluh, tapi janda yang
masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan bermata jeli. Maka
diadakanlah majlis yang penuh keindahan itu.
Hadir Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang
sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi meminang Khadijah r.a kepada saudara
sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempoh untuk
berunding dengan wanita yang berkenaan.
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah:
“Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW padahal ia sangat
amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan,
lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”. “Benar katamu, Khadijah, hanya saja
ia tak berharta”, ujar Waraqah. “Kalau ia tak berharta, maka aku cukup
berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki. Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan
aku dengannya,” demikian Khadijah r.a menyerahkan urusannya.
Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari
pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan
kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan mas kawin lima ratus
dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan “Ash-Shiddiq”, sahabat akrab
Muhammad SAW. sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah buatan
Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai
dalam upacara adat istiadat pernikahan agung, apalagi karena yang akan dinikahi
adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a berlangsung pada
hari Jum’at, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam.
Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad.
Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut
oleh Abu Thalib sebagai berikut: “Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang
menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu
Ma’ad, dari keturunan Mudhar. “Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan
kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan
menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia.
“Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kawin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
“Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kawin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
“Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa
sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita gembira
(albasyaarah) serta pengalaman-pengalaman hebat. “Semoga Allah memberkati
pernikahan ini”. Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat
meriah di rumah mempelai perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan
berdiri berbaris di pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh
mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan
harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a membuka isi hati kepada
suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari
bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan, hamba-hamba sahaya
adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau
redhai !”
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan Dia (Allah)
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan”.
(Adh-Dhuhaa: 8)
Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri
yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita.
Dijamin Masuk Syurga
Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW. selama dua puluh enam tahun, yakni
enam belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh tahun sesudah masa
kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya, bercerai karena kematian. Tahun
wafatnya disebut “Tahun Kesedihan” (‘Aamul Huzni).
Khadijah r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada Rasulullah SAW.
ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang mendahuluinya. Ketika
Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada peristiwa turunnya wahyu pertama
yang disampaikan Jibril ‘alaihissalam, dimana beliau merasa ketakutan dan
menggigil menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah
yang pertama dapat mengerti makna peristiwa itu dan menghiburnya, sambil
berkata:
“Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah SWT yang menguasai
diri Khadijah r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi Pesuruh Allah bagi
umat kita. “Allah SWT tidak akan mengecewakanmu. Bukankah engkau orang yang
senantiasa berusaha untuk menghubungkan tali persaudaraan? Bukankah engkau
selalu berkata benar? Bukankah engkau senantiasa menyantuni anak yatim piatu,
menghormati tamu dan mengulurkan bantuan kepada setiap orang yang ditimpa
kemalangan dan musibah?”
Khadijah r.a membela suaminya dengan harta dan dirinya di dalam
menegakkan kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya dalam duka derita yang dialaminya
dari gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap kebenaran agama Islam,
menangkis segala serangan caci maki yang dilancarkan oleh bangsawan-bangsawan
dan hartawan Quraisy. Layaklah kalau Khadijah r.a mendapat keistimewaan khusus
yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain yaitu, menerima ucapan salam dari
Allah SWT. yang disampaikan oleh malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah SAW.
disertai salam dari Jibril a.s peribadi untuk disampaikan kepada Khadijah
radiallahu ‘anha serta dihiburnya dengan syurga.
Kesetiaan Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa
terbatas. Nabi SAW pernah berkata: “Wanita yang utama dan yang pertama akan
masuk Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad SAW.,
Maryam binti ‘Imran dan Asyiah binti Muzaahim, isteri Fir’aun”.
Wanita Terbaik
Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW. terhadap
peribadi Khadijah r.a ialah: “Dia adalah seorang wanita yang terbaik, karena
dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam
kebimbanga, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia
telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya
terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak
ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain”.
Putera-puteri Rasulullah SAW. dari Khadijah r.a sebanyak tujuh orang:
tiga lelaki (kesemuanya meninggal di waktu kecil) dan empat wanita. Salah satu
dari puterinya bernama Fatimah, dinikahkan dengan Ali bin Abu Thalib, sama-sama
sesuku Bani Hasyim. Keturunan dari kedua pasangan inilah yang dianggap sebagai
keturunan langsung dari Rasulullah SAW.
Perjuangan
Khadijah
Tatkala Nabi SAW mengalami rintangan dan gangguan dari kaum lelaki
Quraisy, maka di sampingnya berdiri dua orang wanita. Kedua wanita itu berdiri
di belakang da’wah Islamiah, mendukung dan bekerja keras mengabdi kepada
pemimpinnya, Muhammad SAW : Khadijah bin Khuwailid dan Fatimah binti Asad. Oleh
karena itu Khadijah berhak menjadi wanita terbaik di dunia. Bagaimana tidak
menjadi seperti itu, dia adalah Ummul Mu’minin, sebaik-baik isteri dan teladan
yang baik bagi mereka yang mengikuti teladannya.
Khadijah menyiapkan sebuah rumah yang nyaman bagi Nabi SAW sebelum beliau
diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika merenung di Gua Hira’. Khadijah
adalah wanita pertama yang beriman kepadanya ketika Nabi SAW berdoa (memohon)
kepada Tuhannya. Khadijah adalah sebaik-baik wanita yang menolongnya dengan
jiwa, harta dan keluarga. Peri hidupnya harum, kehidupannya penuh dengan kebajikan
dan jiwanya sarat dengan kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang
ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan dan dia menolongku
dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa.”
Kenapa kita bersusah payah mencari teladan di sana-sini, padahal di
hadapan kita ada “wanita terbaik di dunia,” Khadijah binti Khuwailid, Ummul
Mu’minin yang setia dan taat, yang bergaul secara baik dengan suami dan
membantunya di waktu berkhalwat sebelum diangkat menjadi Nabi dan meneguhkan
serta membenarkannya.
Khadijah mendahului semua orang dalam beriman kepada risalahnya, dan
membantu beliau serta kaum Muslimin dengan jiwa, harta dan keluarga. Maka Allah
SWT membalas jasanya terhadap agama dan Nabi-Nya dengan sebaik-baik balasan dan
memberinya kesenangan dan kenikmatan di dalam istananya, sebagaimana yang
diceritakan Nabi SAW, kepadanya pada masa hidupnya.
Ketika Jibril A.S. datang kepada Nabi SAW, dia berkata :”Wahai,
Rasulullah, inilah Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah dan
makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan salam kepadanya
dari Tuhannya dan aku, dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga
dari mutiara yang tiada keributan di dalamnya dan tidak ada kepayahan.” [HR.
Bukhari dalam “Fadhaail Ashhaabin Nabi SAW. Imam Adz-Dzahabi
berkata:”Keshahihannya telah disepakati.”]
Bukankah istana ini lebih baik daripada istana-istana di dunia, hai,
orang-orang yang terpedaya oleh dunia ? Sayidah Khadijah r.a. adalah wanita
pertama yang bergabung dengan rombongan orang Mu’min yang orang pertama yang
beriman kepada Allah di bumi sesudah Nabi SAW. Khadijah r.a. membawa panji
bersama Rasulullah SAW sejak saat pertama, berjihad dan bekerja keras. Dia
habiskan kekayaannya dan memusuhi kaumnya. Dia berdiri di belakang suami dan
Nabinya hingga nafas terakhir, dan patut menjadi teladan tertinggi bagi para
wanita.
Betapa tidak, karena Khadijah r.a. adalah pendukung Nabi SAW sejak awal
kenabian. Ar-Ruuhul Amiin telah turun kepadanya pertama kali di sebuah gua di
dalam gunung, lalu menyuruhnya membaca ayat-ayat Kitab yang mulia, sesuai yang
dikehendaki Allah SWT. Kemudian dia menampakkan diri di jalannya, antara langit
dan bumi. Dia tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri sehingga Nabi SAW
melihatnya, lalu dia berhenti, tidak maju dan tidak mundur. Semua itu terjadi
ketika Nabi SAW berada di antara jalan-jalan gunung dalam keadaan kesepian,
tiada penghibur, teman, pembantu maupun penolong.
Nabi SAW tetap dalam sikap yang demikian itu hingga malaikat
meninggalkannya. Kemudian, beliau pergi kepada Khadijah dalam keadaan takut
akibat yang didengar dan dilihatnya. Ketika melihatnya, Khadijah berkata :”Dari
mana engkau, wahai, Abal Qasim ? Demi Allah, aku telah mengirim beberapa utusan
untuk mencarimu hingga mereka tiba di Mekkah, kemudian kembali kepadaku.” Maka
Rasulullah SAW menceritakan kisahnya kepada Khadijah r.a.
Khadijah r.a. berkata :”Gembiralah dan teguhlah, wahai, putera pamanku.
Demi Allah yang menguasai nyawaku, sungguh aku berharap engkau menjadi Nabi
umat ini.” Nabi SAW tidak mendapatkan darinya, kecuali pe neguhan bagi hatinya,
penggembiraan bagi dirinya dan dukungan bagi urusannya. Nabi SAW tidak pernah
mendapatkan darinya sesuatu yang menyedihkan, baik berupa penolakan,
pendustaan, ejekan terhadapnya atau penghindaran darinya. Akan tetapi Khadijah
melapangkan dadanya, melenyapkan kesedihan, mendinginkan hati dan meringankan
urusannya. Demikian hendaknya wanita ideal.
Itulah dia, Khadijah r.a., yang Allah SWT telah mengirim salam kepadanya.
Maka turunlah Jibril A.S. menyampaikan salam itu kepada Rasul SAW seraya
berkata kepadanya :”Sampaikan kepada Khadijah salam dari Tuhannya. Kemudian
Rasulullah SAW bersabda :”Wahai Khadijah, ini Jibril menyampaikan salam
kepadamu dari Tuhanmu.” Maka Khadijah r.a. menjawab :”Allah yang menurunkan
salam (kesejahteraan), dari-Nya berasal salam (kesejahteraan), dan kepada
Jibril semoga diberikan salam (kesejahteraan).”
Sesungguhnya ia adalah kedudukan yang tidak diperoleh seorang pun di antara
para shahabat yang terdahulu dan pertama masuk Islam serta khulafaur rasyidin.
Hal itu disebabkan sikap Khadijah r.a. pada saat pertama lebih agung dan lebih
besar daripada semua sikap yang mendukung da’wah itu sesudahnya. Sesungguhnya
Khadijah r.a. merupakan nikmat Allah yang besar bagi Rasulullah SAW. Khadijah
mendampingi Nabi SAW selama seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat
beliau gelisah, menolongnya di waktu-waktu yang sulit, membantunya dalam
menyampaikan risalahnya, ikut serta merasakan penderitaan yang pahit pada saat
jihad dan menolong- nya dengan jiwa dan hartanya.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang
mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan. Dan dia
memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah
mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagiku anak dari selain dia.”
[HR. Imam Ahmad dalam “Musnad”-nya, 6/118]
Diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah r.a., dia berkata
:”Jibril datang kepada Nabi SAW, lalu berkata :”Wahai, Rasulullah, ini Khadijah
telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah, makanan atau minuman. Apabila
dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya salam dari Tuhan-nya dan beritahukan
kepadanya tentang sebuah rumah di syurga, (terbuat) dari mutiara yang tiada
suara ribut di dalamnya dan tiada kepayahan.” [Shahih Bukhari, Bab Perkawinan
Nabi SAW dengan Khadijah dan Keutamaannya, 1/539]
