Saat perintah hijrah turun, kaum muslimin di
Makkah segera bersiap untuk melakukan hijrah ke Madinah. Kaum kafir Quraisy
tidak tinggal diam dengan adanya perintah ini, segera daya dan upaya dikerahkan
untuk mencegah kaum muslimin melakukan hijrah. Di tengah persiapan tersebut,
ada seorang wanita Makkah yang bernama Ummu Qoys yang sepertinya mempunyai
kendala untuk melakukan hijrah sendirian. Pucuk dicinta ulampun tiba, seorang
pemuda yang telah lama menaruh hati pada Ummu Qoys datang untuk meminang.
'Aku hanya mempunyai satu permintaan untuk
maharku, jika kau bisa membawaku untuk hijrah ke Madinah maka aku akan menerima
pinanganmu' kata Ummu Qoys. Atas izin Allah, mereka akhirnya berhasil hijrah ke
Madinah dan menikah.
Permasalahan tidak berhenti sampai disitu
saja, segera tersebar berita bahwa ada seseorang yang hijrah karena wanita
sampai muncul istilah Muhajirin Ummu Qoys. Mendengar berita tsb, Rasulullah
kemudian mengeluarkan hadist yang seringkali kita dengar :
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob
radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah e bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan
sesungguhnya setiap orang
(akan dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya
karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang
dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan
bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. Bukhori dan Muslim).
Para ulama membedakan dengan jelas definisi
antara niat dan azzam (keinginan yang kuat). Niat adalah keinginan yang kuat
yang sudah diiringi dengan perbuatan menuju keinginan tersebut. Sedangkan azzam
hanya sebatas keinginan yang kuat. Seorang yang berkeinginan untuk berjihad,
belum dikatakan mempunyai niat untuk berjihad jika dia tidak disertai dengan
perbuatan untuk melakukan persiapan jihad. Ini mungkin yang perlu diluruskan di
masyarakat kita.
Ibroh utama yang bisa kita ambil dari
peristiwa ini adalah bahwa Allah sangat menitik beratkan pada niat untuk
menilai suatu amalan. Jika niat melakukan amalan sudah bukan karena Allah dan
rasul-Nya, maka akan tertolaklah amalan itu. Walau sebanyak dan sebagus apapun
amalan itu. Rupanya kualitas lebih ditekankan daripada kuantitas amal. Jika
kualitasnya sudah salah maka kuantitasnya akan salah. Tapi jika kualitasnya
sudah bagus, maka akan lebih baik jika diiringi dengan kuantitas yang banyak
pula.
Menurut hadist ini setidaknya ada dua syarat
penting yang menentukan diterima atau tidaknya setiap amalan yang kita
kerjakan:
Ikhlas karena Allah semata.
Pernah satu kali seseorang bertanya pada
Rasulullah: 'Bagaimana pendapat Anda jika ada seseorang yang berperang selain
dia ingin mengharapkan pahala, juga agar dia menjadi terkenal ?' Jawab Nabi
Rasulullah SAW, 'Orang itu tidak akan mendapatkan pahala apapun !'
Sebagaimana kekasih kita juga, ternyata
pencipta kita adalah Dzat yang sangat pencemburu. Dia tidak akan sudi untuk
diduakan.
Al-Qur’an juga tegas menjelaskan ketidak-ridho-an
Allah jika hambaNya melakukan amalan selain untuk-Nya:
'Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepadaNya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus …… (Al-Bayyinah:5)
Tanda-tanda Keikhlasan
Adapun tentang tanda-tanda keikhlasan itu
sendiri Dr. Yusuf Qordowi dalam bukunya ttg Ikhlas menguraikan beberapa
tanda-tanda keikhlasan diantaranya:
1. Mengakui Kekurangan Diri
Adalah sangat wajar apabila kita melakukan kesalahan.
Kita bukan manusia maksum yang sudah dijamin tidak akan melakukan dosa. Untuk
itu sangatlah wajar pula kita tahu diri bahwa setiap keberhasilan dalam
kehidupan mungkin hanya sekitar 10%nya yang merupakan kontribusi dari diri
kita, sedangkan sisanya adalah murni karena skenario Allah semata.
2. Cenderung Menyembunyikan Amal Kebajikan
Amalan yang diceritakan bukan dalam rangka syi’ar akan
mengundang adanya perasaan bangga diri. Perasaan seperti ini akan bisa
melencengkan tujuan dari amalan itu sendiri bukan karena Allah, tapi karena
perasaan bangga itu sendiri. Jika satu saat mereka tidak yakin orang lain
merasa takjub dengan amalanya, maka yang terjadi adalah rasa malas dan berat
untuk melakukan amalantersebut.
3.
Tidak membedakan
amalan seorang prajurit dengan panglima perangnya
Khalid bin Walid adalah seoran Panglima Perang yang tak
tertandingi, dimanapun beliau ditempatkan di situ pula beliau meraih
kemenangan. Sampai-sampai Rasulullah menjulukinya Syaifullah (Pedang Allah).
Satu saat orang-orang mengelu-mengelukan beliau sampai mengarah pada kondisi
pengkultusan diri. Untuk menghidari hal ini Sayyidina Umar Bin Khatab
memerintahkan pemecatan Khalid bin Walid dari Panglima menjadi prajurit biasa.
Ternyata bukan Post Power Syndrome yang dialami beliau, tapi bahkan beliau
tetap berjuang dengan semangat yang sama saat beliau menjadi Panglima
tertinggi.
4. Mengutamakan keridhoan Allah daripada keridhoan manusia
Keridhoan manusia hanya akan berakhir maksimal sama dengan panjang umur manusia itu sendiri, sedangkan keridhoaan Allah membawa konsekuensi lebih panjang. Kita masih akan melewati pertanggungjawaban di alam kubur, kemudian alam mahsyar, baru kemudian alam akhirat. Sayangnya kadang seseorang merasa tidak 'pede' saat melakukan satu kebaikan hanya karena lingkunganya tidak mendukung terlaksananya kebaikan itu.
Keridhoan manusia hanya akan berakhir maksimal sama dengan panjang umur manusia itu sendiri, sedangkan keridhoaan Allah membawa konsekuensi lebih panjang. Kita masih akan melewati pertanggungjawaban di alam kubur, kemudian alam mahsyar, baru kemudian alam akhirat. Sayangnya kadang seseorang merasa tidak 'pede' saat melakukan satu kebaikan hanya karena lingkunganya tidak mendukung terlaksananya kebaikan itu.
5. Cinta dan marah karena Allah
A’a Gym pernah menghukum putranya karena tidak shalat.
Dalam hadist Nabi diajarkan bahwa perintah shalat harus diberikan pada anak
sejak berumur 7 tahun, dan jika sampai 10 belum dilaksanakan kita boleh
memukulnya. Untuk menjalankan hukuman itu beliau terlebih dahulu menjelaskan ke
sang putra bahwa ini adalah perintah Allah, kemudian selesai hukuman di
laksanakan beliau langsung memeluk dan menangis serta meminta sang putra tidak
meninggalkan shalat lagi.
6. Sabar terhadap panjangnya jalan
Kita harus sadar bahwa bisa jadi kebaikan yang kita
tanamkan atau dakwah yang kita jalankan baru bisa dinikmati oleh generasi
sesudah kita. Surga impian bukan sesuatu yang mudah untuk diraih, tapi dia
dibalut oleh berbagai rintangan dan cobaan sebagai sarana untuk memisahkan
antara orang yang beriman dan orang yang hanya mengaku beriman.
Allah tidak akan bertanya mengapa kita tidak sukses atau
kenapa kita belum meraih kemenangan. Tapi Allah akan bertanya sudahkan kita
sudah berusaha secara maksimal.
7. Sesuai dengan syari’at yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW
Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan yang diutus
untuk membawa risalah Islam. Dialah manusia satu-satunya yang paling paham
bagaimana menerjemahkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan
sebagai pribadi, kepala keluarga, kepala negara, sahabat, ayah, dan peran
apapun di dalam kehidupan sehari-hari.
Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (Qs. 33:21)
Makanya sangat tidak sesuai apabila ada diantara kita
yang mengaku sebagai seorang mu’min tapi tetap cara beribadahnya menurut
kemauannya sendiri.
'Yang penting eling….',
'Yang penting niatnya',
'Yang penting hatinya baik'.
Sering sekali kita mendengar ungkapan-ungkapan semacam
ini di masyarakat kita. Islam tidak cukup hanya seperti itu. Harapan kita dalam
meraih surga berbanding lurus dengan sejauh mana usaha kita mendapatkannya.
Wallahu’alam.